Setiap hari speaker masjid tak terlepas dari berita kematian, bunga tangis ranum bermekar dikala hujan darah membasahi nurani, apakah kemanusian adalah barang mahal bagi bangsa ini ? senyum,canda dan tawa seakan lenyap ditelan kelaparan yang membelenggu. Skenario panjang pejabat bangsa ini begitu pilu kami rasa, haruskah kami yang tercipta sebagai tumbalnya ? berkorban nyawa tak berdosa demi rasa nasionalisme ? hingga tahlil yassin dan doa hadiah selalu bergema dikala malam tiba ?
Aku ‘Mumus Mustiono.’ Hidup dengan balutan luka batin mendalam. 10 tahun yang lalu pristiwa memilukan menyayat luka di kalbu. Keluargaku dianiaia kemudian dibunuh akibat pemberontakan kepada perusahaan asing pencuri emas dan tembaga ditanah nenek moyang ini. Disaat itu aku yang berumur 8 tahun sedang tertidur lelap, kampung kami sedang menjalankan sebuah rencana, rencana menduduki perusahaan dengan cara menyusup kedalam wilayah tambang. Kami berkumpul, baik laki-laki maupun perempuan membawa senjata tradisional sejenis tombak dan panah. Rencana ini tak akan mudah terlebih para penjaga perusahaan tersebut memakai senjata modern buatan Amerika. Rencana pertama berhasil, dengan mudah kami melompati pagar pembatas, kemudian dilanjutkan dengan rencana pembakaran bangunan di wilayah pertambangan. Ketika 1 bangunan berhasil terbakar penjaga baru menyadari kedatangan kami. Lontaran timah panas tak terelakan, beberapa dari kami berhasil menyusup menuju sumber tembakan dan melawannya bermodalkan ujung tombak bambu. Namun, kami kalah jumlah dan canggih. Senapan mesin ditembakan secara brutal tepat ke arah kami. malam itu malaikat kematian tersenyum puas menjemput pejuang jihad menuju kedamaian, aksi penyusupan berhasil dihentikan.
Cerita itulah yang terucap dari salah satu pemberontak selamat dari peristiwa tersebut, ia bernama pak Goma, setiap kali bercerita mata laki-laki tua tersebut berair. Begitu lembut tetes-tetes bening itu, sungguh menyiratkan luka yang amat mendalam. Inikah yang dinamakan takdir Tuhan ? sesak didada kerap kali kesedihan menjelang. namun aku percaya, Tuhan tidak memberikan cobaan diluar batas kemampuan manusia. Sejak lahir aku hidup dalam lingkaran kesengsaraan dan penderitaan, kemiskinan bagai sahabat karib wajah-wajah tak berdosa kampung kami. Kelaparan adalah topik utama kehidupan kami, ditambah penyakit yang begitu pandai mewabah menjadi pelengkap sempurna penderitaan hidup. Exploitasi besar-besaran menjadi catatan kelam menghiasi daerah ini selama 44 tahun. Alam kami,kehidupan kami,kebahagiaan kami disita,dijarah,dirusak,dibunuh dengan kejamnya. Hidup pada wilayah rawan konflik, mendidikku untuk terbiasa mengalami siksaan mental setiap harinya. Baku tembak antara warga dengan pihak perusahaan, jeritan kesakitan, tangisan pilu dan suara kematian begitu lekat ditelingaku.
Semenjak keluargaku wafat, aku tinggal bersama saudara jauh ayahku bernama Pak Kusyo atau yang sering dipanggil Pak Yo. Seorang keras kepala namun penyayang. Siang ini kami akan pergi ke ladang, untuk memanen ubi jalar. Terik mentari mengayuh langkahku diringi hentakan aspal mobil-mobil perusahaan berperawakan baja yang terkenal angkuh, mereka datang bagai gemuruh memecah keheningan. Setiap hari lahan Pak Kusyo berkurang luasnya, tak salah lagi, melainkan dihisap oleh tuyul-tuyul berdasi. Wilayah jajahan setiap waktu semakin bertambah seiring besarnya keberadaan emas dan tembaga ditanah ini.
“Hey anak muda, segera kau panen umbi-umbi itu ! jangan sampai terdahului timah-timah panas yang begitu mudah mereka lontarkan” perintah Pak Kusyo sembari melemparkan sebilah parang.
“Baik pak Yo” jawabku. Aku mulai memanen, Kini kesan tanah jauh dari kesuburan lagi akibat pencemaran limbah yang mereka buang seenaknya. kualitas tanah yang buruk berdampak pada hasil panen yang diperoleh. Seluruh umbi telah selesai di panen, kasihan Pak Yo setiap kali panen hasilnya selalu berkurang dan kualitasnya umbinya semakin menurun.
Ketika hendak mengikat karung yang berisi penuh umbi-umbi, dor...dor..dor..dor... duarr...duarrr.. Aku dan Pak Yo tersentak kaget, karung umbi yang belum selesai di ikat jatuh dan berhamburan isinya. kami langsung merunduk bersembunyi di balik semak.
“Apa yang terjadi ?” tanya pak Yo.
“Kontak senjata lagi Pak” jawabku menoleh ke arah sumber suara tembakan.
“Sial Polisi-polisi itu, tak sadarkah ia diperbudak gedung Setan itu ?” ucap Pak Yo geram sembari melemparkan segenggam tanah. Aku termenung seketika,
“Mereka itu polisi ?” rasa ingin tahuku muncul. “Pak Yo, bukankah mereka para penjaga biasa. Mengapa dikatakan polisi ?” tanyaku mengerutkan kening.
“Mereka itu Polisi, aparat pelindung rakyat ! kita sudah diadu domba, para oknum itu dibayar besar dengan dalih penertiban dan keamanan” jawabnya berapi-api.
“benarkah itu Pak Yo ?” tanyaku semakin bingung.
"Kau tak percaya ? kau tak juga sadar ? memang timah panas siapa kerap kali bersarang di jantung warga kita ? ini Dualisme,Nasionalisme ganda ! dengan uang semua berbicara dan urusan selesai. Imbalan membuat mereka berpihak kepada penjajah bukan berpihak kepada kita ! meraka tak ingat bersumpah hidup demi rakyat dihadapan tuhan !” ungkapnya menunjuk-nunjuk ke arah polisi. Aku tersadar, ternyata selama ini kami berhasil di adu domba, mereka mengkhianati kami. Karena uang, rasa persaudaraan hilang terbengkalai. Sedang pihak penjajah tertawa puas menyaksikan asyiknya Parodi Bangsa ini. Dimana letak hati mereka ? haruskah sungai darah mengalir deras dihadapan mereka agar mereka sadar bahwa manusia adalah makhluk paling berharga dimuka Bumi ini ? akhirnya aku menemukan jawabanku sendiri, jawaban atas pertanyaan yang belum sempat dijawab Ayahku.
“Ayahku, kenapa kita begitu bersemangat untuk memisahkan diri dengan Negeri ini ? bukankah itu tindakan Nasionalistis ?”
“Kau akan menemukan jawabanya suatu hari nanti nak.” jawabnya, dengan senyum khas meyakinkan. Kami telah dikhianati ! Itulah jawaban yang selama ini aku cari. Pernyataan itu wajar terungkapkan, Dualisme yang ditunjukan Bangsa ini sudah sangat lama menyiksa kehidupan kami, dipecundangi secara sosial,ekonomi dan kultural. Kekayaan sumber daya alam pada hakikatnya ditunjukan untuk kesejahteraan rakyat, namun ternyata berputar 180 derajat dengan keadaan saat ini, tanah warisan nenek moyang kami, dijarah oleh imperialisme bangsa barat dan dengan bodohnya Bangsa ini menerima pinangan tersebut. Baku tembak berhenti, pemberontak sudah tak terlihat lagi gerak-geriknya.
Dari arah utara datang seseorang bersenjata dengan langkah ganjil menghampiri kami, tergopoh-gopoh,tanganya menggengam dada berlumuran darah dan kemudian terjatuh tepat dihadapanku. Bruuuukkk... terhempas berbaring di tanah.
“Ketua Warga ?” tanyaku heran.
“De mus.” jawabnya lirih terbatuk-batuk.
“Siapa yang membuatmu begini ?” tanya Pak Yo kebingungan.
“Siapa lagi kalau bukan mereka, aku tertembak di jantung dan paha” jawabnya terbata-bata. Ketua Warga
bangun setengah badan dan berkata padaku.
“De mus dengarkan aku, kaulah pemuda harapan kampung kita. Sudah tiba saatnya orang-orang tua beristirahat tenang di alam kubur, hidupku tidak akan lama lagi. Teruskan perjuangan menegakan keadilan, kembalikan harga diri kita dan kembalikan senyum ceria penghias kehidupan ini. jangan buat keturunan kita merasakan penderitaan yang dialami saat ini, cukuplah kami para kaum pendahulu merasakan perihnya berjalan dalam lorong gelap fatamorgana penuh darah dan luka. Itu pesanku yang terakhir, peganglah, senapan ini untukmu.”
sayup-sayup udara membelai luka, mengalun raga dalam seberkas sinar flamboyan, mengembuskan rintihan kalbu menuju kedamaian. Ketua warga menghembuskan nafas yang terakhir. Tak kuasa ku menahan air mata, berlinang hingga membasahi keningnya. Beliau telah dibunuh oleh pihak yang seharusnya melindungi rakyat ! Berita kematian ketua warga menyebar luas diterpa angin debu, menyusup celah-celah gubuk derita, menumpahkan rintik air di bola mata haus keadilan. Kisah sedih begitu hangat menyapa kami, sinarnya kejam membakar batin,mencabik jiwa dan raga. Hampir setengah abad kami dibodohi, akibat asingnya pendidikan bagi bongkahan otak ini. Kami tumbuh sebagai manusia tak normal, perut membesar bukan gejala kekenyangan melainkan busung lapar yang kami derita. Sementara setiap harinya, jutaan ton emas diperoleh oleh mereka ditanah kami. 66 tahun bangsa ini merdeka, namun kolonialisme masih tetap berjaya di bumi pertiwi. Pemerintah hanyalah boneka setan kaum barat, yang begitu setia melayani dan mengayomi permintaan mereka.
“Ya Tuhan mengapa ini harus terjadi kepada kami ?”
“Apa dosa kami semua ?”
“Apakah keadilan hak tak mungkin bagi kami ?”
“Wahai penguasa yang berkantung tebal, tengoklah kami disini,rasakan penderitaan kami walau hanya sedetik saja. Lihatlah gunung tulang belulang di kampung kami.”
“Wahai penguasa yang dipilih rakyat, Apakah kami masih bagian bangsa ini ?”
“Kami tak butuh uangmu, yang kami inginkan hanya keadilan dan kedamaian tanpa harus ada pertumpahan darah.”
“Kasihan adik-adik kami, Dialam ghaib mereka menangis sedih, Gugur dalam kandung badan, Mati tercekik air minum merkuri.”
“Wahai penguasa, dengarlah rintihan jiwa ini. setiap malam kami memimpikan keadilan,memimpikan kehadiranmu disini, agar luka dan derita dapat kita tanggung bersama-sama.”
“Wahai penguasa, dengarkanlah..dengarkanlah..dengarkanlah kami !”
“Apakah kau sudah tuli wahai penguasa ?”
“Jangan salahkan kami, apabila kedaulatan baru berdiri diatas negeri ini !”
“Ya Tuhan yang maha pengampun lagi maha penyayang, jika engkau mengendaki. Bumi hanguskanlah negeri ini, buat rata kembali bersama tanah. Agar kesedihan dan penderitaan tak lagi tercipta untuk kami.”